45 News - Kebijakan Kementerian Haji dan Umrah yang mengusulkan penyetaraan masa tunggu jamaah haji Indonesia menjadi sekitar 26-27 tahun untuk semua provinsi mendapatkan apresiasi dari Aprozi Alam, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar.
Kebijakan yang bertujuan menyeragamkan antrian dari Aceh hingga Papua ini dinilai memiliki sisi positif sebagai langkah menuju keadilan, namun memerlukan kajian mendalam dan langkah-langkah strategis dari Pemerintah Indonesia untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.
Sebagai informasi, saat ini terjadi ketimpangan signifikan dalam masa tunggu pemberangkatan haji antar provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Agama per akhir 2023, provinsi dengan kuota besar seperti Jawa Barat memiliki masa tunggu yang sangat panjang, mencapai 30-40 tahun.
Sementara itu, beberapa provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua Barat, memiliki masa tunggu yang relatif lebih singkat, di bawah 15 tahun. Perbedaan ini terjadi karena sistem kuota haji berdasarkan populasi muslim (1:1000) dan pembagian antrian yang diatur masing-masing daerah.
Dalam rapat kerja Kementerian Haji dan Umrah dengan Komisi VII DPR RI (30/9/2025), Menteri Haji dan Umrah Gus Irfan Yusuf menyatakan bahwa pihaknya akan mengusulkan agar antrian jamaah haji bisa dibuat rata dan adil antar daerah yaitu sekitar 26-27 tahun.
Alasannya karena ada ketidaksesuaian pembagian kuota haji antar provinsi dengan Undang Undang yang berlaku. Dengan kebijakan ini, maka antrian jamaah haji akan sama dari Aceh sampai Papua
Merespon hal tersebut, Aprozi Alam menyatakan bahwa secara prinsip, kebijakan penyetaraan antrian ini selaras dengan semangat keadilan dan pemerataan yang diamanatkan oleh undang-undang.
“Kami di Komisi VIII, khususnya Fraksi Partai Golkar, menyambut baik niat baik Kementerian Haji dan Umrah untuk menciptakan keadilan dalam pembagian kuota. Kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jamaah di daerah dengan antrian panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang,” ujar Aprozi.
Meski demikian, Legislator Golkar dari Dapil Lampung menekankan bahwa penerapan kebijakan ini tidak sederhana dan penuh dengan tantangan.
“Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ‘kejutan’ dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jamaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama,” jelasnya.
Aprozi memaparkan beberapa poin kritis yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia diantaranya potensi terjadinya penyesuaian paksa bagi daerah daerah dengan antrian pendek.
Provinsi-provinsi yang saat ini memiliki masa tunggu 10-15 tahun akan mengalami lonjakan masa tunggu secara drastis menjadi 26-27 tahun. “Ini bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jamaah di daerah tersebut yang telah berencana berdasarkan perkiraan lama. Pemerintah harus menyiapkan skenario komunikasi publik yang sangat baik untuk hal ini,” tegas Aprozi.
Sementara itu Bagi daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, kebijakan ini justru akan memotong masa tunggu. Meski positif, hal ini harus diiringi dengan kesiapan infrastruktur pendaftaran, pembinaan, dan pelayanan yang memadai untuk menangani kuota yang mungkin akan bergerak lebih cepat.Kebijakan ini tidak serta merta menambah kuota Indonesia yang tetap berdasarkan perhitungan populasi global.
“Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah mengurangi kuota Indonesia secara keseluruhan. Diplomasi yang kuat dengan Pemerintah Arab Saudi tetap kunci untuk mempertahankan dan jika mungkin menambah kuota kita,” ujar Aprozi.
Selain itu Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada integrasi dan akurasi data tunggal antar provinsi.
“Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data dan memastikan perpindahan antrian berjalan mulus,” tambahnya.
Sebagai bentuk sikap yang proporsional dan konstruktif, Aprozi Alam dan Komisi VIII DPR RI akan mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk segera membuat pemetaan dampak (impact assessment) yang komprehensif terhadap semua provinsi. Selain itu juga perlu dialog antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan DPRD untuk mensosialisasikan kebijakan ini dan menampung aspirasi masyarakat.
“Kebijakan ini adalah sebuah terobosan yang berani. Tujuan akhirnya mulia, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas kita bersama, terutama Pemerintah dan DPR, adalah memastikan jalan menuju keadilan itu tidak menimbulkan luka baru. Mari kita sambut dengan pikiran terbuka, namun kita kawal dengan sikap kritis dan responsif untuk melindungi hak-hak calon jamaah haji Indonesia,” tutup Aprozi Alam. (Team/Red)
Posting Komentar